adm Admin
Jumlah posting : 54 Registration date : 07.01.09
| Subyek: Kontroversi Konspirasi AS dan Fatah Sat Jan 10, 2009 4:39 pm | |
| Kontroversi Konspirasi AS dan FatahBy Republika Newsroom Kamis, 08 Januari 2009 pukul 15:42:00 Dalam sebuah video yang disaksikan seorang redaktur Majalah Vanity Vair, David Rose, sebuah petunjuk terlihat di akhir rekaman. Seorang sandera bernama Abu Dan-pengikut Hamas, masih terikat dengan mata tertutup diminta mengulang teriakan penyanderanya, “Dengan darah dan jiwa, kami korbankan diri untuk Muhammad Dahlan! Panjang Umur Muhammad Dahlan,”.
Video itu diambil dari kantor Keamanan Fatah Juni lalu oleh seorang pejuang Hamas. Tidak ada kebencian lain lebih dari yang dirasakan anggota Hamas daripada kebencian kepada Muhammad Dahlan, seorang petinggi kuat Fatah yang lama bermukim di Gaza. Posisi terakhir tokoh ini adalah penasihat keamanan nasional yang telah menghabiskan bertahun-tahun berperang melawan Hamas.
Bush telah bertemu Dahlan dalam tiga kali kesempatan. Setelah perbincangan di dalam Gedung Putih pada 2003 silam, Bush melontarkan pujian terhadap Dahlan pada publik, sebagai “pemimpin baik, solid, dan penuh dedikasi. Dalam obrolan terbatas dan privat, beberapa kali pihak Israel dan Amerika Serikat (AS) mengatakan, presiden AS menyebutnya, “orang kita”.
AS telah terlibat dalam urusan Palestina sejak Perang Enam Hari 1967, ketika Israel berhasil merebut Gaza dari Mesir, dan Tepi Barat dari Jordan. Dengan perjanjian Oslo 1993, teritori tersebut mendapat otonomi terbatas di bawah pimpinan presiden sebagai pemerintah eksekutif dan parlemen melalui pemilu. Israel sendiri menetapkan kehadiran sejumlah besar militer di Tepi Barat, namun menarik dari Gaza pada tahun 2005.
Saat berkuasa, Presiden Bush secara berulang kali menyatakan ambisi besar terakhir dalam kepresidenannya ialah mewujudkan negara Palestina yang sukses dan membawa kedamaian di Tanah Suci Jerusalem. Bush kala itu melontarkan pernyataan di depan publik Jerusalam 9 Januari 2008 lalu. Orang-orang pun bertanya “Anda pikir apakah itu mungkin dalam masa pemerintahan anda?”. Jawaban Bush, “Saya sangat berharap,”
Hari berikutnya di ibu kota Tepi Barat, Ramallah, Bush menyadari benar jika ada rintangan besar dalam mencapai tujuannya: Hamas sepenuhnya menguasai Gaza, rumah bagi sekitar 1,6 juta warga Palestina, setelah kudeta berdarah pada Juni 2007.
Hampir setiap hari, pejuang Hamas melontarkan roket dari Gaza menuju kota tetangga Israel, dan Presiden Mahmoud Abbas tak memiliki daya menghentikan. Kekuasaannya terbatas hanya di Tepi Barat. “Ini kondisi yang sulit,” aku Bush. “Saya tidak tahu apakah anda dapat mengatasi ini dalam setahun,” ujarnya. Apa yang Bush ingkari ialah menyatakan jika ia berperan dalam kekacauan tersebut.
Menurut Muhammad Dahlan dalam wawancara dengan Vanity Vair, adalah Bush yang memaksakan pemilu legislatif di teritori Palestina pada Januari 2006, meski telah mendapat peringatan, jika Fatah belum siap. Setelah Hamas—yang dalam pernyataan kedaulatannya berkomitmen pada tujuan menenggelamkan Israel ke laut—memenangkan parlemen, Bush pun membuat satu lagi kesalahan kalkulasi, yang tak sekedar fatal, tapi lebih mematikan.
Sebuah dokument rahasia berhasil diperoleh dari sumber pemerintah AS dan Palestina, dengan telanjang menggambarkan inisiatif tertutup, disetujui oleh Bush dan dilaksanakan oleh Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice dan Deputi Penasihat Keamanan Negara Elliot Abrams, untuk memprovokasi perang sipil di Palestina.
Pasukan perang akan dipimpin oleh Dahlan dan dipersenjatai oleh artileri dan amunisi baru disuplai oleh komando Amerika, untuk memberi Fatah kekuatan menyingkirkan Hamas yang telah terpilih secara demokratis.
Bahkan melalui sumber gedung putih, Bush berencana mengucurkan 86 miliar dolar kepada Fatah. Jumlah tersebut lebih dari total dana yang pernah diberikan AS kepada PLO sejak 1994. Sejumlah uang tersebut mungkin tak akan diberikan bila Fatah tidak kalah dalam pemilu.
Menurut laporan media-media pada akhir Desember, AS dengan Israel menyetujui pengiriman 2000 pucuk AK-47 dan dua juta peluru kepada pasukan keamanan Presiden Mahmoud Abbas, yang loyal kepada Fatah. (Departemen Luar Negeri AS menolak untuk berkomentar mengenai temuan tersebut meski tidak mengeluarkan bantahan resmi).
Namun rencana rahasia tersebut menjadi bumerang, menghasilkan langkah mundur lebih jauh dalam kebijakan politik luar negeri Bush. Tidak menjadikan musuh kehilangan kekuatan, dukungan AS terhadap Fatah, justru mendorong Hamaz menguasai Gaza secara total.
Dalam pemerintahan Bush sendiri kebijakan Palestina menimbulkan debat runcing. Salah satu pengkritik tajam ialah David Wurmser, yang menyatakan diri neokonservatif. Ia akhirnya mengundurkan diri sebagai kepala penasihat Timur Tengah, Wakil Presiden Dick Cheney, pada Juli 2007, sebulan setelah kudeta Gaza.
Wurmser menuding pemerintahan Bush “terlibat merencanakan’’perang kotor untuk menyokong kepemimpinan diktaktor ( Abbas) yang korup. Ia sendiri meyakini Hamas tidak bermaksud mengambil alih Gaza, sebelum Fatah memaksakan kekuatan.
“Bagi saya, yang terjadi bukan sepenuhnya kudeta oleh Hamas, namun upaya kudeta oleh Fatah atas parlemen yang dipatahkan sebelum itu berlangsung,” ujar Wurmser.
Setelah gagal mengantisipasi kemenangan Hamas atas Fatah dalam pemilu Palestina 2006, Gedung Putih memasak skenario skandal tertutup lain. Bagi sejumlah pengamat politik di AS, skenario itu tak beda dengan Iran-contra, (skenario bagi Shah Iran yang justru memicu revolusi Islam Iran pada 1979), skenario Bay of Pigs, Kuba (yang membuat Fidel Castro semakin memiliki dalih untuk memepertahankan dan menguatkan posisinya).
Presiden Bush, Condoleezza Rice, dan Elliot Abrams menyokong dari belakang pasukan bersenjata Fatah yang dipimpin Muhammad Dahlan, memicu perang sipil berdarah di Gaza dan menjadikan Hamas lebih kuat dari sebelumnya./berbagai sumber/it | |
|