Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Manipulasi Merger "By Design" Mon Dec 21, 2009 5:10 pm | |
| Manipulasi Merger "By Design" Suara Pembaruan, Senin 21 Des 2009P/Charles Ulag Mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah menjawab pertanyaan anggota Pansus Hak Angket mengenai proses merger Bank Century di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (21/12).
[JAKARTA] Manipulasi dalam persetujuan merger Bank CIC, Bank Danpac, dan Bank Pikko menjadi Bank Century pada 2004, diyakini ada unsur kesengajaan. Terkait hal itu, muncul nama baru, yakni mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Maulana Ibrahim, sebagai pihak yang diduga memanipulasi seolah-olah disposisi persetujuan merger berasal dari Gubernur BI waktu itu, Burhanuddin Abdullah.
Hal tersebut diungkapkan Burhanuddin Abdullah, di hadapan Pansus Hak Angket Kasus Bank Century, di Jakarta, Senin (21/12). Sepanjang Senin, Pansus memanggil para mantan anggota Dewan Gubernur BI yang terlibat dalam proses akuisisi CIC, Danpac, dan Pikko oleh Chinkara Capital, yang berujung pada merger menjadi Century. Selain Burhanuddin, mereka yang dipanggil antara lain Anwar Nasution, Miranda S Goeltom (keduanya mantan Deputi Gubernur Senior BI), serta Aulia Pohan (mantan Deputi Gubernur BI). Namun, Aulia berhalangan karena masalah izin dari Rutan Brimob Kelapa Dua, Depok.
Burhanuddin mengakui, selama proses akuisisi hingga merger, ada laporan yang disampaikan Direktur Direktorat Pengawasan Bank I BI kala itu, Sabar Anton Tarihoran, mengenai laporan perkembangan merger. "Atas surat laporan itu, saya hanya memberikan paraf, tanpa ada kata-kata lain," tegasnya.
Selanjutnya, muncul surat susulan yang ditujukan kepada Anwar Nasution dan Aulia Pohan. "Di dalam surat itu tercantum kata-kata yang seolah-olah mengutip kata-kata saya, bahwa merger itu mutlak dilakukan. Belakangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan kepada saya ada surat dari Maulana Ibrahim, yang mengutip seolah-olah disposisi bahwa merger tiga bank itu mutlak berasal dari saya. Ini jelas by design (disengaja)," ungkapnya.
Burhanuddin, yang kini tengah menjalani hukuman di LP Sukamiskin, Bandung, atas kasus aliran dana BI ke DPR melihat ada upaya faith a comply kepada Anwar Nasution dan Aulia Pohan, yang notabene adalah atasan Sabar Anton Tarihoran. "Dalam laporan BPK, Anwar Nasution mengatakan, 'Kalau bos (Gubernur BI) setuju, mengapa saya tidak?'," ungkap Burhanuddin.
Menurut mantan Menko Perekonomian semasa Presiden KH Abdurrahman Wahid tersebut menilai, ada dua hal mendasar dalam proses merger Century. Pertama, ada manipulasi disposisi Gubernur BI.
"Kedua, persetujuan prinsip merger dan akuisisi bukan ditentukan oleh Gubernur BI, tetapi diputuskan Rapat Dewan Gubernur BI. Sesuai UU, Dewan Gubernur adalah pengambil keputusan tertinggi," ujarnya.
Dia mengakui, skala Bank Century di industri perbankan nasional sangatlah kecil. Menurutnya, ada sekitar 15 bank di industri perbankan nasional yang menguasai 80 persen pasar. "Bank Century jauh dari skala 15 bank itu," ujarnya.
Persetujuan merger Century pada 2004 diberikan dalam rangka semangat membantu industri perbankan untuk berkembang. "Semangat itu yang dikedepankan saat menyetujui merger Century," ungkapnya.
Dia menolak jika BI dinilai teledor saat memberikan izin merger ke Century. Langkah itu merupakan bagian dari konsolidasi perbankan, yang tengah dilakukan BI.
"Kebijakan konsolidasi bank adalah kebijakan yang secara sadar agar kita memiliki industri bank yang kuat. Dan merger tiga bank (Pikko, CIC, dan Danpac) adalah bagian dari konsolidasi ini. Tetapi disayangkan merger tiga bank ini parah," tandasnya.
Soal Pengawasan
Disinggung soal pengawasan bank oleh BI, Burhanuddin setuju jika pengawasan lemah pada kasus Bank Century. "Pada kasus Century, pengawasan BI benar-benar lemah. Buktinya, kini Century diselamatkan, dan ternyata sarat masalah," katanya.
Namun, dalam konteks industri perbankan nasional, menurutnya pengawasan BI sudah cukup kuat. Hal itu terindikasi dari ratusan bank lain yang mampu bertahan dan mencetak laba cukup signifikan.
Bukti lain, lanjut Burhanuddin, selama krisis keuangan 2008, AS telah menutup sedikitnya 120 bank. "Di Indonesia hanya satu bank yang ditutup, yakni Bank IFI. Ini bukti pengawasan BI secara industri sudah baik. Sehingga parameter pengawasan kuat atau lemah itu harus proporsional melihatnya," jelasnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Pansus Angket Century, Mahfudz Siddiq menjelaskan, pemeriksaan para mantan petinggi BI kali ini untuk mendalami proses merger tiga bank menjadi Bank Century, dan status pengawasan khusus yang diberikan BI kepada Bank Century pascamerger di masa kepemimpinan Dewan Gubernur BI periode 2003-2008. Fokus pemeriksaan tersebut, disesuaikan dengan laporan hasil audit investigasi BPK terkait penyaluran dana talangan (bailout) Bank Century.
Dari hasil laporan BPK, lanjutnya, sejak 29 Desember 2005, Bank Century dinyatakan sebagai bank dalam pengawasan intensif karena permasalahan perkreditan yang berpotensi menimbulkan masalah kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan bank.
Sensitivitas Moral
Sementara itu, terkait imbauan banyak pihak agar Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati untuk sementara nonaktif agar proses pemanggilan oleh Pansus Century dapat berjalan efektif, menurut pakar hukum tata negara Ryaas Rasyid, secara etika hal itu sebaiknya diakomodasi oleh yang bersangkutan.
Menurutnya, dalam politik pemerintahan ada tiga pilar harus diperlukan untuk menopang eksistensi sebuah pemerintahan, yakni UUD 1945, UU atau hukum, dan etika. "Khusus untuk etika memang tidak tertulis, tetapi mengacu pada norma dan moralitas yang disepakati oleh bangsa ini," kata Ryaas.
Menurut Ryaas, apa yang dikatakan Presiden SBY bahwa status nonaktif tidak ada dalam UU, itu tidak salah. "Tetapi apakah moralitas kekuasaan memberi toleransi kepada pejabat yang diduga terkait sebuah kasus kejahatan? Apakah itu dibenarkan?" tanya dia.
Dia mencontohkan, Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duaji dan mantan Wakil Jaksa Agung M Ritonga yang nonaktif sebelum diperiksa Tim 8 yang dibentuk Presiden SBY. Padahal, keduanya adalah pejabat teknis karier yang bukan dipilih rakyat, tetapi memiliki rasa sensitif terhadap pendapat publik.
"Lalu bagaimana terhadap pejabat yang asal muasalnya dipilih rakyat? Seharusnya lebih sensitif terhadap pendapat rakyat. Wapres dan Menkeu adalah jabatan politis yang seharusnya lebih sensitif. Kalau saya jadi Boediono atau Sri Mulyani, saya akan nonaktif dulu, demi kehormatan jabatan dan harga diri saya," kata dia.
Karena itu, kata dia, yang diperlukan saat ini adalah sensitivitas moral yang harus diperlukan kepada para pejabat publik.
| |
|