Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Potret Kemiskinan Indonesia 69% Pekerja Ada di Sektor Informal Fri Aug 06, 2010 2:17 pm | |
| Potret Kemiskinan Indonesia 69% Pekerja Ada di Sektor Informal Suara Pembaruan, 05 Agustus 2010Pemerintah harus mendorong pertumbuhan lapangan kerja sektor formal guna menyejahterakan rakyat mengingat hingga Februari 2010 68,83 % angkatan kerja bekerja di sektor informal. Perpindahan angkatan kerja dari informal ke sektor formal akan mempercepat penurunan angka kemiskinan dan pengangguran. Untuk itu, pemerintah harus segera membangun industri pengolahan (hilir) sekaligus menyiapkan tenaga kerja terdidik dan terampil. Demikian pendapat Pelaksana Tugas Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Adi Putera Taher; Plt Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Abdul Wahab Bangkona; dan Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani yang dihubungi SP, Rabu (4/7). Mereka menanggapi pertanyaan mengenai apa upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pada usia Indonesia yang ke 65 tahun ini. Berdasarkan data BPS, lapangan usaha industri pengolahan sebenarnya memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan PDB yakni rata-rata 27 persen dari keseluruhan bidang usaha. Namun, kontribusi industri pengolahan ini stagnan dari tahun ke tahun yakni di sekitar angka 27 persen. Sementara laju pertumbuhan industri pengolahan justru terus menurun sejak 2007. Sementara itu, tenaga kerja menumpuk di sektor pertanian, yakni hampir 40 persen, meskipun sektor ini tidak memberikan sumbangan besar pada pertumbuhan PDB nasional yakni hanya sekitar 15 persen. Kondisi ini membuat penurunan angka kemiskinan berjalan lambat. Menurut Plt Ketua Umum Kadin Indonesia, Adi Putera Taher, untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja formal di Indonesia, pemerintah segera membangun industri pengolahan, antara lain di sektor pertanian, perkebunan, pertambangan dan migas. Industri hilir yang banyak menyerap tenaga kerja formal itu antara lain adalah sektor perkebunan seperti kelapa sawit dan kelapa serta kakao dan di sektor pertanian seperti kopi, penili, coklat. ”Indonesia akan bertahan dan maju dalam pasar bebas kalau membangun industri hilir. Kita terus-terus ekspor bahan mentah, lama-lama stoknya habis,” kata dia.
Terampil dan Terdidik Selain membangun industri pengolahan untuk menampung tenaga kerja, perlu juga disiapkan tenaga kerja yang terampil dan terdidik dengan membangun balai latihan kerja (BLK) terutama di daerah. “Kita bisa mendidik dan melatih tenaga kerja yang mempunyai keahlian melalui lembaga pendidikan dan BLK,” kata Plt Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Abdul Wahab Bangkona. Menurut Wahab, jumlah tenaga kerja informal begitu besar terutama karena rendahnya keterampilan dan keahlian yang dimiliki pekerja. Hal ini bisa disebabkan mutu pendidikan yang rendah. Atau, apa yang diajarkan di sekolah atau bangku kuliah berbeda yang ada di dunia kerja. “Nah di sinilah pentingnya adanya konsep pendidikan yang bersesuaian,” kata dia. Wahab menilai, konsep pendidikan yang ada saat ini kebanyakan asal dapat ijazah saja. “Belajar hanyak untuk lulus bukan belajar untuk menguasai ilmu atau memperoleh keahlian,” kata dia. Secara terpisah Adi Putera Taher juga sependapat agar sistem pendidikan Indonesia harus diubah. ”Coba ke depankan konsep link and match,” kata Adi. Menurut Wahab, sampai saat ini terdapat 208 BLK di Indonesia. Sebagian besar kondisi infrastruktur dan fasilitasnya kurang memadai. ”Hanya 3 persen saja yang kondisi infrastruktur dan fasilitas BLK milik pemerintah daerah yang baik,” katanya. Sebesar 51 % BLK yang ada berkondisi sedang, dan 39 % dikategorikan buruk. Sedangkan sebanyak 6 % BLK belum berfungsi optimal dan dalam proses perbaikan.
Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani kepada SP di Jakarta, Kamis (5/7), mengungkapkan pemerintah belum mempunyai kebijakan komprehensif untuk mendorong perkembangan sektor formal dan iklim wirausaha. Sejumlah persoalan yang menjadi kendala di antaranya belum adanya fokus penyelesaian masalah ekonomi, birokrasi yang kurang efektif dan koordinasi yang lemah, serta tak adanya kepemimpinan (leadership) dalam menjalankan roda pemerintahan. Persoalan-persoalan di atas menyebabkan upaya mendorong kebangkitan Indonesia menjadi sulit tercapai. Padahal, usia Indonesia sudah lebih dari setengah abad. Seiring dengan itu, sejumlah masalah yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bangsa Indonesia harus diatasi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor formal. “Sejumlah PR yang ditemukan Apindo dan pemerintah adalah peningkatan daya saing, perlindungan pasar dalam negeri, dan peningkatan ekspor,” kata Franky yang juga Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Industri Nasional (Forkan).
Franky menjelaskan, dalam peningkatan daya saing maka perlu langkah nyata menurunkan suku bunga yang tinggi, meningkatkan efisiensi penggunaan energi untuk kebutuhan industri, dan menyelesaikan masalah ekonomi biaya tinggi melalui pembenahan infrastruktur dan perbaikan peraturan daerah (perda) yang membebani dunia usaha. “Penurunan suku bunga masih sebatas wacana. Ironisnya lagi, suku bunga usaha kecil dan menengah paling tinggi. Belum lagi sejumlah aturan dan pungutan daerah yang semakin marak dan se-olah-olah dibenarkan dengan undang-undang yang sudah ada,” jelas dia. Selain daya saing, perlindungan pasar dalam negeri dirasakan sangat mendesak untuk dilakukan. Hal itu bisa dimulai dengan perlindungan industri dengan menerapkan standar nasional Indonesia (SNI) dan mewajibkan label bahasa Indonesia pada semua produk yang beredar di Indonesia. Selain itu, perlunya peningkatan produksi dalam negeri dan pengawasan terhadap produk ilegal yang secara umum belum dipahami konsumen. Secara khusus, Franky juga menekankan lemahnya koordinasi birokrasi dan tak adanya kepemimpinan untuk menopang pembangunan ekonomi. Salah satu kelemahan birokrasi tersebut di mana minimnya perlindungan pada industri dalam negeri.
“Pemerintah kita masih membiarkan industri semakin terpuruk dan membiarkan produk asing perlahan tapi pasti menguasai pasar kita. Yang dikorbankan adalah industri dalam negeri dan konsumen,” tuturnya. Sementara itu, kepemimpinan menjadi persoalan dalam koordinasi birokrasi juga menjadi titik lemah Indonesia. Fakta menunjukkan Kementrian Perindustrian dan Kementrian Perdagangan mencoba bekerja keras untuk menghadapi kecenderungan deindustrialisasi dan meningkatkan ekspor. Sebaliknya, dalam waktu yang sama, Kementrian Keuangan mengurangi subsidi energi, lalu Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral mengurangi gas industri PLN. Hal ini berakibat pada naiknya tarif dasar listrik (TDL) dan industri dikorbankan dengan menanggung biaya energi yang mahal. “Niat dan upaya yang terkotak-kotak ini seharusnya dikoordinasikan dengan baik. Ini membutuhkan pemimpin yang tegas,” jelas Franky. Ekonom Umar Juoro menjelaskan sektor formal yang seharusnya menopang perekonomian belum banyak berkembang. Hal itu disebabkan minimnya ketegasan pemerintah untuk membuat keputusan dan mengimplementasikan kebijakan dalam peningkatan penyerapan tenaga kerja dan dukungan infrastruktur.
“Sebagian besar upaya mendukung perkembangan sektor formal ada pada kebijakan pemerintah. Mulai dari infrastruktur, manufaktur, hingga perlindungan ketenagakerjaan,’ jelas dia. Dikatakan, upaya pemerintah di atas diharapkan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor formal. Apalagi, saat ini sekitar dua pertiga dari tenaga kerja Indonesia adalah sektor informal dan didominasi kaum wanita.
Dia menjelaskan, koordinasi dan kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan juga masih sangat minim dari pemerintahan saat ini. Padahal, sektor formal sangat tergantung pada kebijakan infrastruktur dari Kementrian Pekerjaan Umum, untuk energi dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan sektor-sektor terkait lainnya. “Butuh anggota kabinet yang mempunyai kemampuan execute sehingga program berjalan dengan baik. Apalagi, sebagian besar persoalan sektor formal membutuhkan fasilitasi dari pemerintah,” kata dia. | |
|