Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Turbulensi Finansial Bakal Berlangsung Lama Mon Sep 22, 2008 6:29 pm | |
| Turbulensi Finansial Bakal Berlangsung Lama Oleh Martin PH Panggabean Ekonom Bank Mandiri Bagi saya tidak ada hal yang baru mengenai turbulensi finansial yang baru saja kita alami. Sejak akhir tahun 2007, saya telah mengatakan paling tidak dua hal. Pertama, pasar finansial global pada 2008 akan sangat volatile (bergejolak). Kedua, saya juga mengatakan bahwa penyebab dari volatilitas ini adalah kondisi di mana berita buruk bisa pecah sewaktu-waktu.
Hal ini mungkin terjadi karena otoritas pasar di negara maju tidak berhasil meningkatkan transparansi tentang potensi kerugian bank investasi yang berinvestasi di sub-prime. Ada daftar yang panjang tentang kegagalan transparansi ini, Bear Stearns, Northern Rock, UBS, Lehman Brothers, dan AIG. Daftar ini masih mungkin bertambah lagi, sehingga pasar masih sangat mungkin kembali terkejut.
Sungguh ironis, karena kita berbicara tentang negara-negara yang 10 tahun lalu pongah mengajari kita untuk belajar transparan, mengendalikan aktivitas bank, dan untuk percaya akan efisiensi pasar. Namun saat ini terlihat mereka tidak menjalankan satu pun kotbah yang mereka sampaikan kepada kita.
Akankah Berkelanjutan?
Melihat perkembangan reaksi pasar selama setahun terakhir ini, sebenarnya kita dapat melihat dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang dari kasus sub-prime. Dampak jangka pendek adalah ketika pasar panik dan kemudian kehilangan kepercayaan kepada siapa saja (termasuk hilangnya kepercayaan antarsesama bank besar dari sesama negara maju).
Pasar modal yang efisien dilandaskan pada prinsip bahwa saving-investment gap dapat diselesaikan melalui transaksi di pasar modal, dengan asumsi kedua pihak saling percaya. Ketika kepercayaan itu hilang, pasar menjadi tidak efisien.
Akibat dari inefisiensi ini, semua pihak berlomba mencari likuiditas yang dapat diperoleh dengan cara menjual asetnya di mana saja, termasuk di Indonesia. Itu sebabnya kita melihat rontoknya harga saham, obligasi, maupun kurs di pasar Indonesia (dan pasar global lainnya). Semua sibuk mencari likuiditas.
Inefisiensi pasar ini pula yang menerangkan, mengapa untuk kesekian kalinya, bank sentral di negara-negara maju sibuk memban- jiri pasar dengan likuiditas.
Setiap kali intervensi pasar ini dilakukan, minimal sudah tiga kali terjadi dalam setahun terakhir ini, jumlah yang dikucurkan semakin lama membesar. Semuanya dengan tujuan dan harapan agar efisiensi pasar kembali normal.
Dampak jangka panjang dari keadaan ini tidak merupakan headline news, namun juga tidak kalah penting. Beberapa bulan yang lalu, para analis pasar memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi AS tahun 2009, sebagai contoh, akan membaik. Jika tahun ini diperkirakan hanya tumbuh 1,4%, tahun depan pertumbuhan dapat mencapai di atas 1,8%. Artinya, dampak sub-prime sudah akan hilang.
Tetapi, itu analisis beberapa bulan yang lalu. Kini, para analis memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2009 akan lebih buruk dari tahun 2008.
Menyikapi kondisi ini, analis lantas menduga bahwa The Fed (Bank Sentral AS) akan menahan suku bunganya di posisi 2%, hingga pascapertengahan 2009. Artinya, baru pada semester dua 2009, pertumbuhan ekonomi AS akan membaik.
Jadi, tampaknya situasi yang tidak menyenangkan ini masih akan terus berlangsung, paling tidak sampai pertengahan 2009. Artinya, ada gambaran pesimistis bahwa situasi yang buruk ini masih akan terus berlangsung. Sehingga, kita tidak perlu kaget bahwa masih ada lagi berita buruk yang sesekali keluar, entah kapan, dan kemudian menyeret pasar finansial kembali memasuki turbulensi.
Masih Belum Selesai
Kalau memang itu skenario yang kita bisa bayangkan untuk beberapa bulan ke depan, situasi memang cukup murung. Kita yang hidup di kota besar kadang merasa lebih cerdas dan lebih maju dari yang lain, karena berinvestasi di pasar finansial. Kini, kebanggaan itu sudah hilang. IHSG yang pernah bertengger di level 2.800, sempat terempas ke level 1.600-an pekan lalu. Price-to-earnings ratio pada saat itu adalah 11,7 kali, terendah selama 15 bulan terakhir. Padahal pernah mencapai angka 19 kali.
Bersamaan dengan rontoknya IHSG, indeks harga obligasi juga turun tajam karena tekanan jual pemodal asing yang mencari likuiditas. Setelah dana rupiah mereka dapatkan, mereka mengkonversinya ke mata uang asing, sehingga menimbulkan tekanan berat di pasar valas.
Sebenarnya, sesuai dengan kondisi global, ada dampak jangka pendek dan jangka panjang yang bisa kita perkirakan. Dampak jangka pendek adalah imbas global ke pasar Indonesia via pasar finansial. Skenario buruk yang dapat terjadi adalah, jika AIG (salah satu grup asuransi terbesar di dunia) kemudian benar-benar collapse, pasti akan berdampak sangat besar. Sebab, sampai saat ini ada anggapan bahwa perusahaan asuransi sangat konservatif dalam berinvestasi.
Jika AIG runtuh, lengkaplah sudah sub-prime menghancurkan semua sendi pasar finansial. Lebih buruk lagi, jika berita AIG ini muncul pada saat, misalnya, IHSG belum mencapai level 2.100. Jika demikian, IHSG akan kembali terkoreksi mendekati level 1.500.
Dampak jangka pendek lain adalah tekanan pada kurs, terutama jika menembus Rp 10.000 per dolar AS. Pada saat harga minyak jatuh dan tekanan inflasi BBM menghilang, akan muncul tekanan inflasi baru yang datang dari kurs. Ini sama sekali tidak kondusif terhadap sektor riil dan prospek penurunan suku bunga.
Hal lain yang mesti diwaspadai adalah kesulitan yang bakal dihadapi pemerintah pada saat ia menjual obligasi di pasar perdana untuk menutupi defisit anggaran. Bukan hanya ia menghadapi investor yang pesimistis dan meminta kupon yang tinggi, pemerintah juga bisa kesulitan mencari investor yang mau membeli SUN. Itulah yang terjadi bulan lalu saat pemerintah menjual ORI 005.
Jika begitu, bagaimana pemerintah dapat menutup defisit anggarannya? Sebuah pertanyaan besar.
Kebijakan Alternatif
Apa yang dapat dilakukan pemerintah saat ini? Separuh jawabannya bergantung pada, apakah kondisi yang kita alami ini sesuatu yang bersifat temporer atau permanen. Kalau memang ini hanya sesuatu yang bersifat temporer, maka sulit (dan mungkin tidak perlu) pemerintah kita membuat perubahan kebijakan yang radikal.
Sebaliknya, jika hal ini bersifat permanen, kita mesti sepakat terlebih dahulu bahwa turbulensi ini adalah bagian dari globalisasi yang membuat banyak pasar menjadi semakin terkait satu sama lain.
Namun, haruskah spillover antarnegara menjadi sesuatu yang harus diterima? Tampaknya tidak, sehingga pemerintah mulai sibuk dengan berbagai jenis intervensi.
Dalam jangka pendek, pemerintah bisa saja melakukan intervensi, baik menginjeksi likuiditas maupun program buyback (pembelian kembali) saham, dan lain sebagainya. Namun, pada akhirnya, turbulensi itu akan terus menerjang selama kepemilikan asing atas aset-aset, seperti saham, obligasi SUN, dan SBI, masih besar. Juga, selama uang panas puluhan miliar dolar AS milik hedge fund masih bercokol di dalam ekonomi kita, dan selama puluhan miliar dolar AS uang eksportir kita tetap diparkir di luar negeri.
Dalam kondisi ini perlu konsensus nasional dan perlu kebijakan yang mengatur bahwa kita dapat memilih seberapa jauh kita bisa menerima globalisasi. Menerima globalisasi dalam perdagangan barang dan jasa adalah satu hal. Menerima globalisasi dalam hal pasar finansial (yang merupakan sumber turbulensi) adalah hal lain yang berbeda.
Sayangnya, banyak orang di negeri ini menganggap keduanya sebagai bagian dari satu paket. Pemenang Nobel, seperti Jagdish Baghwati, menolak liberalisasi finansial, karena berbahaya.
Pertaruhannya memang cukup besar. Membiarkan turbulensi ini terus berjalan, sama dengan membiarkan masalah segelintir orang yang bekerja di Wall Street, merusak kehidupan orang- orang miskin yang ada di ujung-ujung Indonesia Timur. Kecuali, kalau pemerintah bisa membuktikan bahwa uang panas itu ada gunanya bagi kehidupan orang miskin, dan pemerintah bisa membuktikan bahwa turbulensi finansial ini tidak berdampak pada sektor riil, rasanya kita harus mengajak pemerintah (termasuk DPR) untuk mengkaji kembali untung-ruginya liberalisasi finansial.
Tulisan ini tidak mewakili pendapat Bank Mandiri | |
|