Gejala krisis ekonomi sekarang ini, menurut mantan Menko Rizal Ramli, telah diramalkan Econit Adversory pada Januari 2008. Waktu itu Econit memperingatkan, perekonomian Indonesia diramalkan akan mengalami penggelembungan finansial. Rizal menyebutnya sebagai The Year of The Bubble.
Namun, saat itu Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, ungkap Rizal, tak menanggapi serius ramalan tersebut. ''Mereka sombong,'' Rizal menandaskan.
Bahkan Tim Indonesia Bangkit (TIB) telah memperingatan bakal terjadinya krisis ini sejak akhir 2006. Waktu itu TIB menyatakan, sepuluh tahun pascakrisis, Indonesia bakal kembali menghadapi ancaman yang sama. Namun, pemerintah dengan tegas membantahnya.
Barulah setelah warning senada disampaikan pejabat lembaga asing dalam pertemuan para menteri ekonomi di Kyoto pada Mei 2007, Menteri Keuangan RI mengakui bahwa ekonomi Indonesia saat ini mirip kondisi menjelang krisis 1997/1998.
Jelang krisis 1997 pun, Econit sudah mempringatkannya pada November 1996. Dalam Econit's Economic Outlook 1997 disebutkan, ekonomi Indonesia akan memasuki tahun ketidakpastian dan berpotensi terjadi koreksi. Salah satu indikasinya, sat itu rupiah telah overvalued sebesar 7-8 persen dan overleverage yang berlebihan di dunia usaha. Ini diakibatkan oleh cross ownership dan cross management sehingga struktur ekonomi sangat rapuh.
Tapi, ketika itu pemerintah bebal. Krisis pun membadai, yang dampaknya terus berkelanjutan hingga kini. Dan ketika Menteri Sri mengakuinya, ia segera dibantah oleh menteri ekonomi lainnya dan Bank Indonesia.
Padahal, Alan Greenspan, mantan pemimpin Bank Sentral AS, telah mengingatkan kemungkinan akan terjadinya koreksi ekonomi dunia sebesar sepertiganya. Dan target pertama pelarian modal adalah negara-negara yang financial bubble-nya paling besar dan struktur ekonominya paling rapuh.
Hady Sutjipto, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi FE UNISBA, menjelaskan, gelombang capital inflow (hot money) volumenya sangat besar bahkan melebihi yang terjadi pada 1997, khususnya melalui pasar saham dan pasar uang. Investor asing menyerbu pasar obligasi dan pasar modal karena dinilai masih menggiurkan. Instrumen keuangan di Indonesia masih menarik di mata mereka.
Parkirnya uang panas di Indonesia disebabkan oleh adanya “gap suku bunga” yang lumayan menarik antara rupiah dan dolar AS. Tingkat suku bunga efektif di beberapa negara lain seperti AS sekitar 4,75 persen, Thailand 4,25 persen, dan Eropa 2,5 persen. Adapun BI rate saat ini berada pada level 8,75 persen. Jelas, Indonesia memang menjadi menarik bagi masuknya uang panas.
Sesuai dengan namanya, hot money adalah uang-uang jangka pendek yang dibawa investor asing. Mereka memburu instrumen-instrumen investasi di Indonesia yang memberikan keuntungan tinggi. Dana tersebut mengalir ke pasar obligasi (terutama obligasi Pemerintah), Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga pasar saham. Wajar, kalau pasokan dolar-dolar tersebut membuat rupiah dan indeks menguat.
Sejumlah instrumen keuangan yang kepemilikan asingnya bertambah adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), dan saham. Dari total SBI yang diterbitkan sampai 10 Mei 2007 senilai Rp 257,6 triliun, investor asing sudah menggenggam Rp 45,3 triliun. Jumlah ini membengkak jika dibandingkan dengan posisi Desember 2006 yang Rp 18,07 triliun.
Peningkatan kepemilikan asing juga terjadi pada SUN. Investor asing telah membeli SUN senilai Rp 77,2 triliun dari total Rp 442,1 triliun; meningkat sekitar Rp 16 triliun ketimbang akhir 2006. Lalu dari pasar modal, investor asing hingga kini telah meraup Rp 550,51 triliun. Nilai transaksi oleh asing ini jauh melesat dibandingkan dengan akhir tahun lalu yang masih Rp 522,34 triliun.
Ketika ''uang panas'' yang menguasai 60 persen sampai 80 persen bursa saham itu, dicabut, pemerintah Indonesia hilang kebanggaan tentang tingginya IHSG. Selanjutnya, mengikuti gendang kapitalisme global yang ditabuh dari Washington. [aya hasna/suara-islam]
Tabloid SUARA ISLAM EDISI 53, Tanggal 24 Oktober - 6 Nopember 2008 M/24 Syawwal - 7 Dzulqa’idah 1429 H