Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Bila Obama Menang Tue Nov 04, 2008 2:27 pm | |
| Bila Obama Menang Oleh Dosen Hubungan Internasional dan Dekan FISIP, I Basis Susilo Universitas Airlangga.Bagaimana hubungan Indonesia dan Amerika Serikat (AS) bila Barack Obama memenangi pemilu Selasa (4/11)? Boleh saja kita berharap banyak Obama akan menguntungkan Indonesia, tetapi lebih bijak dan bermanfaat kalau kita mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam memprediksi hubungan RI-AS nanti.
Pertanyaan tersebut karena tiga hal. Pertama, jajak pendapat selama ini menunjukkan keunggulan Obama secara meyakinkan atas John McCain. Dua hari menjelang pemilu, Obama meraup dukungan 50 persen, unggul tujuh angka atas McCain (43 persen).
Kedua, kalau McCain yang menang, hubungan RI-AS tentu tidak akan mengalami perubahan, karena pada dasarnya McCain hanya meneruskan apa yang sudah dilakukan George W Bush selama ini. Artinya, politik luar negeri AS akan tetap unilateralis dan hanya mengandalkan kekuatan militer dalam menghadapi negara-negara lain. McCain akan meneruskan politik "tanpa diplomasi" sejak Bush menyatakan "yang tidak dengan saya adalah musuh saya."
Ketiga, Bangsa Indonesia punya alasan untuk berharap sesuatu dari Obama bila ia jadi presiden, karena saat masih anak-anak Obama pernah tinggal di Indonesia. Ikatan emosional dengan Indonesia diharapkan masih ada, sehingga mempengaruhi kebijakan AS terhadap Indonesia.
Memprediksi hubungan RI-AS bila Obama menang, juga perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu hukum besi kepentingan nasional, kecenderungan presiden dari Partai Demokrat dalam menangani urusan luar negeri, keterbatasan presiden, gaya dan pribadi presiden, dan faktor Joe Biden sebagai wakil presiden.
Presiden, di mana pun dan kapan pun, selalu akan tunduk dan memprioritaskan kepentingan nasionalnya. Karena itu, siapa pun yang menjadi presiden di AS, juga akan tunduk pada hukum besi ini.
Kepentingan nasional AS itu didasari asumsi-asumsi tertentu. Misalnya, Eropa Barat adalah kawasan dan sekutu yang tidak bisa ditinggalkan. Israel adalah teman strategis yang harus didukung dan dibela. Asia Tenggara bukan prioritas, tetapi Indonesia cukup strategis untuk diperhatikan dan diajak untuk mengatasi terorisme.
Tidak akan ada Presiden AS yang berani melanggar sikap dasar itu. Dalam kampanyenya, Obama pun sudah terbukti tidak berani "bicara" berbeda tentang sikap AS terhadap Israel. Untuk urusan lain Obama berani bereksperimen, seperti akan menemui para pemimpin Suriah dan Iran bila jadi presiden, kelak.
Kendati demikian, tidak bisa dimungkiri bahwa setiap presiden punya cara dan pendekatan berbeda dalam menafsirkan dan melayani kepentingan nasional itu. Walau secara mendasar tidak banyak beda, namun terdapat perbedaan citra antara pemimpin Republik dan Demokrat.
Orang Republik didukung oleh kalangan kaya dan usahawan, cenderung mencari peluang bisnis di negara-negara lain, sehingga membutuhkan hubungan baik dengan pemerintah negara-negara lain. Orang Demokrat didukung kaum buruh, kaum marjinal, dan penggerak hak asasi manusia, cenderung lebih mengutamakan kepentingan konsumen dalam negerinya, sehingga lebih sensitif terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan impor ke negerinya.
Atas dasar perbedaan citra Republik dan Demokrat itu, Pemerintah AS menunjukkan sikap yang beda terhadap Indonesia. Saat Republik memimpin, Pemerintah Indonesia mendapat dukungan yang memadai. Misalnya, Soeharto mendapat dukungan kuat dari Presiden AS dari Partai Republik, seperti Richard Nixon (1969-1973), Gerald Ford (1973-1976), Ronald Reagan (1981-1989), dan George H Bush (1989-1993). Tetapi, Soeharto mendapat tekanan akibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timor Timur dan Irian Jaya (Papua) oleh Presiden Bill Clinton (1993-2001) yang berasal dari Demokrat.
HAM dan Naluri Proteksi
Kecenderungan Demokrat ini tentu juga akan mendorong Obama untuk menekankan aspek HAM dan proteksionisme dalam politik luar negerinya terhadap Indonesia. Menghadapi krisis ekonomi akhir-akhir ini, sifat proteksionis tentu akan mewarnai hubungan RI-AS.
Artinya, ekspor kita ke AS bisa jadi akan bermasalah, bukan hanya karena krisis saat ini di sana, tetapi juga karena naluri proteksionis Demokrat. Upaya untuk menghalangi impor, terutama diberlakukan untuk komoditas-komoditas massal yang bisa menyaingi produk buruh di sana, seperti tekstil dan sepatu.
Dalam urusan luar negeri, Presiden AS mempunyai keterbatasan. Secara konstitusional, justru Kongres, terutama Senat, yang lebih berhak mengendalikan politik luar negeri. Kongres lebih berperan dalam pembuatan UU dan mengatur anggaran untuk urusan luar negeri.
Kendati demikian, presiden di sana bisa lebih berpengaruh daripada Kongres apabila punya kecakapan atau tim yang andal dalam menghadapi negara-negara lain. Misalnya, Franklin D Roosevelt saat Perang Dunia II, dan Nixon pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an.
Faktor Biden
Sayangnya, Obama tidak begitu meyakinkan dalam urusan luar negeri. Dalam jajak pendapat untuk urusan ini, Obama masih kalah dari McCain. Kondisi itulah yang membuat Obama memilih dan akan mengandalkan Joe Biden untuk mengelola politik luar negerinya. Biden (65) berpengalaman sebagai Ketua Komite Hubungan Luar Negeri. Biden punya sikap yang jelas dalam urusan luar negeri, yang didasari asumsi bahwa pilihan fisik-militer, tidak bisa menyelesaikan masalah secara tuntas.
Biden berprinsip, diperlukan usaha-usaha nonmiliter, diplomasi, negosiasi, dan soft power untuk menyelesaikan persoalan. Istilah yang pernah dikatakan, You can't win a war with bombs alone, you have to win hearts and minds." ("Anda tidak akan dapat memenangi perang hanya dengan bom, Anda harus memenangkan hati dan pikiran.")
Biden juga gencar mempromosikan demokrasi. Pada 1994, dia merancang undang-undang yang mendorong terbentuknya Radio Free Asia, sebuah sistem penyiaran radio ke Tiongkok dan negara-negara nondemokratis lain di Asia Timur. Sistem ini mengikuti langkah sukses AS pada 1970-an, yang membangun Radio Free Europe and Radio Liberty, yang di kemudian hari berhasil meruntuhkan Uni Soviet.
Biden juga merancang per wujudan Yayasan Timur Tengah untuk hibah ke LSM-LSM yang mendukung demokrasi di Timur Tengah, dengan mengangkat isu hak-hak perempuan, media yang bebas dan independen, serta kepemilikan swasta.
Saat perang melawan terorisme, pada 2 Februari 2002, Biden mengatakan, "In the battle against terror, unilateralism simply is not an option." Pelajaran dari Tragedi 11 September 2001 adalah perlunya Amerika mempunyai perspektif global. Menurutnya, perang melawan terorisme tidak bisa hanya menggunakan militer, tetapi harus mengandalkan intelijen, polisi, dan diplomasi. Semuanya itu tentu memerlukan kerja sama dengan negara-negara lain.
Tentang Indonesia, Biden menganggap sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia yang moderat dan berhasil melakukan demokratisasi. Dia pun menilai perbaikan hubungan AS dengan Indonesia, justru lebih efektif dilakukan dengan program-program kemanusiaan yang nonmiliter.
Dari pelbagai uraian tersebut, pasangan Obama-Biden tampaknya akan menghadapi Indonesia dalam konteks penegakan dan penguatan demokrasi dan HAM. Sikap dasar Obama-Biden, dikombinasi hubungan emosional Obama dengan Indonesia, tentu bisa menjadi modal penting bagi peningkatan dan perbaikan hubungan RI-AS, asalkan para pemimpin dan diplomat kita bisa memanfaatkan dengan baik dan aktif berinisiatif.
Kita harus aktif, karena Obama-Biden tidak bisa hanya mengurusi Indonesia. Urusan luar negeri Obama-Biden begitu banyak, sehingga kepentingan dan prioritas dengan kawasan dan negara lain, tentu saja tidak bisa diabaikan. *
| |
|