Energi alternatif, seperti biodiesel, tidak akan maju secara bisnis, dan tidak akan dapat dikembangkan, selama pemerintah masih berpihak pada sumber energi fosil (BBM). (Pakar Migas ITB Rudi Rubiandini)[JAKARTA] Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar nabati (BBN). Hal ini dilakukan untuk mempercepat pengembangan BBN, yang merupakan sumber energi alternatif terbarukan, sebagai antisipasi cadangan sumber energi fosil yang menipis.
Demikian penegasan Menteri Pertanian (Mentan), Anton Apriyantono, di Jakarta, Kamis (4/12), terkait dengan upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai produsen utama biodiesel di dunia. Namun, dia tidak mengungkapkan kajian mengenai besaran subsidi yang menurut rencana dialihkan ke BBN.
Anton menambahkan, saat ini biodiesel terus dikembangkan di Indonesia, dan Pertamina sudah mulai menyerap banyak bahan baku biodiesel, khususnya kelapa sawit. Sehubungan dengan hal itu, Departemen Pertanian telah mengusulkan agar kelapa sawit banyak diserap menjadi bahan baku BBN, sebagai solusi menurunnya ekspor sawit, dan anjloknya harga komoditas itu di pasaran.
Dia mengungkapkan, saat ini produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) nasional mencapai rata-rata 18 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, 4,5 juta ton digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik non-BBN, sisanya diekspor dan untuk BBN.
Menurut Mentan, tidak perlu ada aturan khusus lagi untuk menggalakkan pemakaian BBN, karena Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah mengeluarkan peraturan mengenai kewajiban penggunaan BBN.
Harga BBN
Pada kesempatan sebelumnya, Dirjen Minyak dan Gas Departemen ESDM, Evita Legowo mengakui, Indonesia yang memiliki potensi besar energi terbarukan, berupa biodiesel, hingga kini belum memanfaatkannya secara optimal. Dari total produksi biodiesel 2 juta kiloliter (kl) per tahun, hanya 20 persen yang dimanfaatkan di dalam negeri, sisanya diekspor.
"Pengusaha merugi karena harga jual biodiesel di dalam negeri lebih murah daripada biaya pokok produksinya. Oleh karena itu, pemerintah akan menetapkan harga BBN berdasarkan MOPS (harga minyak mentah di pasar Singapura), ditambah biaya pokok produksi dan upah," ujar Evita, saat seminar SP Forum bertema "Quo Vadis Energi Nasional?", yang diselenggarakan Harian Suara Pembaruan, di Jakarta, Rabu (3/12).
Dia menambahkan, guna menggairahkan pengembangan energi terbarukan, pemerintah telah memberikan insentif kepada para produsen biodiesel, berupa pembebasan pajak pertambahan nilai, dan di daerah berupa pembebasan pajak bahan bakar.
Selain itu, pengembangan dan pemasyarakatan penggunaan biodiesel terganjal oleh harga bahan bakar minyak (BBM) yang lebih murah.
Hal senada disampaikan pakar migas dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudi Rubiandini. "Energi alternatif, seperti biodiesel, tidak akan maju secara bisnis, dan tidak akan dapat dikembangkan, selama pemerintah masih berpihak pada sumber energi fosil (BBM)," ujarnya.
Oleh karenanya, Rudi menyarankan, agar pemerintah menunjukkan keberpihakan pada sumber energi terbarukan, dengan menyubsidi BBN.
"Kita sudah siap mengembangkan energi alternatif terbarukan. Apabila sudah ada keberpihakan, saya yakin, semua industri dan infrastruktur yang terkait dengan biodiesel dengan sendirinya akan turut berkembang," jelas Sekjen Masyarakat Migas Indonesia tersebut.
Investasi Kelapa Sawit
Secara terpisah, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), M Lutfi optimistis, investasi di sektor perkebunan kelapa sawit masih menjanjikan, meskipun harga CPO di pasar dunia anjlok.
"Permintaan akan tumbuh, baik dari sektor pangan maupun pengembangan energi terbarukan, melalui bahan baker nabati atau biofuel," kata Lutfi, saat berbicara dalam Indonesia Palm Oil Conference and Price Outlook 2009, di Nusa Dua, Bali, Rabu (3/12).
Dia mengungkapkan, pada 2005-2008 investasi perkebunan dan industri sawit mencapai US$ 3,8 miliar. Untuk itu, pemerintah tengah menyiapkan insentif dan pembangunan infrastruktur lebih cepat, untuk mendorong investasi perkebunan dan industri hilir kelapa sawit di Indonesia.
Lutfi mengungkapkan, Indonesia masih memiliki 5 juta hektare (ha) lahan yang bisa dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit. "Saat ini, kita memiliki 11 juta ha lahan tak bertuan yang berbentuk ilalang, 5 juta ha di antaranya bisa untuk kebun sawit. Badan Pertanahan Nasional (BPN) tengah menginventarisasi tanah tersebut," ujarnya.
Sementara itu, sejumlah investor asal Tiongkok berencana berinvestasi di industri pengolahan sawit, seperti biodiesel, di Sumatera Utara. Selama ini Tiongkok menjadi salah satu negara pengimpor CPO terbesar dari provinsi tersebut.
Dirjen Kehutanan Tiongkok, Wei Dian Sheng, saat berkunjung ke Sumut, Rabu (3/12) mengungkapkan, pihaknya tertarik dan siap berinvestasi, sepanjang pemerintah memberikan berbagai kemudahan.
Ia menuturkan, Tiongkok dengan jumlah penduduk mencapai 1,3 miliar jiwa, sangat membutuhkan hasil dari tanaman sawit itu mulai dari minyak goreng hingga bio- diesel. Hal itu terkait dengan kegagalan upaya mengembangkan perkebunan sawit di Tiongkok bagian selatan.