Kemaren seorang teman bercerita baru saja membeli TV Flat di sebuah toko elektronik di Surabaya seharga 6 juta rupiah. Karena dasar tidak pernah belanja pakai kartu debit, dia bawa segepok uang yang baru diambilnya dari bank: 4 bendel pecahan Rp. 100,000 dan 2 bendel pecahan 50,000, masing-masing bendel isinya sejuta. Uang dimasukkan ke dalam tas dan dipeluk erat-erat biar tidak dijambret orang. "Oalah... bawanya ribet betul" katanya.
Beberapa bulan yang lalu saya beli Laptop di salah satu pusat perbelanjaan elektronik di Thailand, harganya 20 ribu Baht. Karena lebih suka bayar cash ketimbang pake gesek (baca: pelit nggak mau kena potongan), saya ambil uang ke ATM dulu. Dua puluh lembar uang pecahan 1000 Baht masuk semua ke dalam dompet meski agak tebal.
Proses pembayaran teman yang tadi butuh waktu 2-3 menit untuk menghitung dan mengulang untuk memastikan jumlahnya pas. Ditambah bonus muka petugas kasirnya yang agak cemberut. Mungkin dia agak dongkol "nih orang kok nggak pake kartu gesek saja". Kalau saya proses pembayarannya lebih cepat, soalnya nge-cek 20 lembar butuh waktu kurang dari 10 detik.
Kalau dipikir-pikir, kenapa ya kok nominal mata uang rupiah kita tinggi banget?, padahal sebenarnya nilainya rendah. Bahkan diperingkatkan ke posisi ketiga sebagai World's Worthless Money setelah Dollar Zimbabwe dan Vietnamese Dongs oleh sebuah website yang kerjaannya membikin peringkat-peringkat ndak jelas, tapi cukup menghibur. Meskipun tidak ada hubungannya dengan buruknya kondisi perekonomian, apalagi dibandingkan dengan Zimbabwe, masak rupiah kok ya dipandang serendah itu.
Saya yakin KoKi'ers sekalian punya pengalaman seperti saya: saat menyebut nilai dalam rupiah, beberapa teman asing sempat terbelalak. "Haaah..? handphone aja harganya 2,5 million ?". Tapi setelah dikasih tahu nilai sebenarnya, mereka lantas tersenyum geli (dimata saya ada setengah mengejek-nya). Tapi disisi lain malah bikin mereka senang. Saya juga pernah memberi mereka uang pecahan Rp. 5,000 dan Rp. 10,000 buat kenang-kenangan. Wuih... senangnya bukan main!. Padahal kalau dibelikan sepiring nasi di Indonesia belum tentu cukup.
Uang rupiah kita punya nol banyaaak sekali. Nol-nya berjajar panjang memenuhi digit kalkulator dan label harga. Kalau anak-anak belajar menghitung uang harus menghilangkan dulu nolnya agar lebih mudah, baru setelah dijumlah, dikurangi, dikali atau dibagi, nol nya dimasukin lagi.....ribet. Kenapa kok tidak sekalian dihilangkan saja nol nya beberapa digit !?, misalnya 3 digit dari Rp 1,000 jadi Rp. 1. Misalnya:
* 1 Porsi Soto Ayam Rp. 10.000 jadi Rp. 10,
* Naik Garuda Jakarta-Surabaya Rp. 450.000 jadi Rp. 450
* Bayar tol Rp. 4,500 jadi Rp. 4,5
* Angkot Rp. 2.500 jadi Rp. 2,5
* Gaji Rp.4.500.000 jadi Rp. 4.500
* Beli motor Rp. 12.000.000 jadi Rp. 12.000
* Kurs rupiah terhadap Dollar US$ 1 = Rp. 9,4
Hmmm, seru juga. Hemat tulisan, mudah dihitung, gampang transaksinya. Toh uang satu rupiah sekarang sudah tidak dipakai transaksi lagi. Tahun kemarin sih satu rupiah sempat laku untuk tarif telepon per detik, tapi buat beli pulsa saja tetap pakai uang besar. Jadi kalau nominal rupiah dipotong, pecahan sen bisa berlaku kembali.
Hanya saja memotong nominal mata uang seperti senering yang pernah diterapkan jaman Presiden Sukarno dulu sepertinya tidak mudah. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan secara matang, otherwise malah bikin perekonomian makin terjerembab. Lagipula untuk saat ini langkah menyunat nol masih belum cukup urgent. Selain memang ini bukan obat mujarab untuk menghadapi krisis, kebijakan tak populer ini pasti tidak menguntungkan secara politis.
Kata para ekonom, inflasi di Indonesia selalu terjadi setiap tahun. Penyebabnya pun macam macam, ya BBM naik lah, ya Dollar Naik lah, ya beras langka lah, ya krisis energi lah. Apalagi, setelah mengalami inflasi, jarang sekali ada deflasi. Wajar saja kalau nominal semakin tinggi kendati nilai riil nya sama saja. Bukan hal yang sulit menjadi Jutawan di Indonesia, lha wong gaji guru sekarang bisa sampai 5 juta.
Dalam hati, saya selalu bertanya. Setelah pecahan Rp. 100.000., apakah nanti akan muncul uang pecahan Rp. 500.000 dan Rp. 1.000.000. ya? kalau inflasi terus berlanjut, akan muncul lagi pecahan Rp. 10,000,000 seperti di Zimbabwe. Apakah setelah itu baru terpikir menyederhanakan nominal mata uang Rupiah?. Waduh...ndak tahu ya, soalnya saya bukan orang ekonomi.
Jadi teringat romantika zaman SD, makan Nasi Pecel di warung cuma Rp. 100, terus berangkatnya naik angkot Rp. 50. Jajan ini itu total Rp. 75. Pulangnya beli layang-layang Rp. 50. Bawa bekal sekolah Rp. 250 sudah lebih dari cukup. Mbah saya yang ndak mudheng ekonomi bilang " Oalaah, kepenak jaman Soeharto dulu, apa-apa murah".
Kalau pemerintah SBY menerapkan kebijakan senering, maka Mbah saya pasti akan bilang "Jan... pinter tenan pak SBY, harga-harga barang murah lagi kaya jaman (suharto) dulu". Wis... nek ngono, tak pilih maneh dadi presiden !. Ampun KoKi'ers semua yang ekonom dan politikus, ini cuma kelakar.