Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Urbanisasi Tak Terbendung, Jabodetabek Makin Kumuh Thu Oct 14, 2010 3:26 pm | |
| Urbanisasi Tak Terbendung, Jabodetabek Makin Kumuh
Wilayak Kependudukan Jabodetabek Yang Masih Kumuh Suara Pembaruan, Kamis 14 October 2010
[JAKARTA] Pertambahan jumlah penduduk yang pesat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) karena urbanisasi membuat kawasan kumuh di wilayah ini semakin meluas. Sensus Penduduk (SP) 1971 menunjukkan warga Jakarta baru 4,55 juta jiwa dan Bodetabek hanya 3,43 juta jiwa. Selama 40 tahun kemudian, penduduk Jakarta naik dua kali lipat menjadi 9,59 juta jiwa dan Bodetabek melonjak enam kali lipat menjadi 18,44 juta jiwa. Kaum urban yang umumnya tidak memiliki pekerjaan tetap atau bekerja di sektor informal serta menjadi buruh akhirnya hanya bisa tinggal di kawasan padat penduduk atau mencari lahan kosong untuk permukiman dan menciptakan kekumuhan di sana. Semua itu terjadi karena faktor kemiskinan, perencanaan kota yang buruk, serta aturan tata ruang yang tak ditegakkan. Data yang ada menunjukkan, luas kawasan kumuh di Jakarta mencapai 8.000 hektare (ha), Kota Tangerang 5.500 ha, serta kawasan Bekasi dan Bogor, sekitar 6.500 ha. Dengan demikian, total kawasan kumuh di Jabodetabek mencapai 20.000 ha atau sekitar 35% dari luas total kawasan kumuh di Indonesia pada 2009 yang mencapai 57.000 ha. Pada 2004, total kawasan kumuh tercatat 54.000 ha atau selama lima tahun terakhir bertambah 3.000 ha. Menurut Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Penataan Kota Institut Teknologi Bandung (ITB) Iwan Kustiwan menyatakan selama pemerintah belum bisa menyelesaikan pemerataan pembangunan dan kesempatan kerja buat masyarakat, luasan kawasan kumuh di daerah perkotaan akan terus bertambah. Parahnya lagi, kawasan kumuh tidak akan bisa ditata karena pemerintah tidak memiliki data yang akurat mengenai aset tanahnya. Kawasan kumuh identik dengan kawasan berkepadatan tinggi, namun sarana lingkungannya tidak memadai. Kawasan kumuh umumnya ditempati masyarakat dari golongan ekonomi tidak mampu. “Mereka masuk ke kota dengan tujuan mencari pekerjaan, namun harus mendapatkan perumahan yang terjangkau. Kawasan yang tinggi kepadatannya dan serba-terbatas infrastrukturnya menjadi lahan yang mudah dimasuki. Pengawasannya juga kurang,” katanya kepada SP, Rabu (13/10). Senada dengannya, guru besar Fakultas Teknik Arsitek Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Sunjoto menyatakan faktor utama penyebab kawasan kumuh adalah urbanisasi. Kota menjadi alternatif terakhir untuk mencari nafkah karena minimnya lapangan pekerjaan di perdesaan. “Daya tarik kota besar tidak bisa dimungkiri. Orang desa yang di kampungnya hanya bisa menjadi buruh tani, di kota bisa menjadi satpam, petugas kebersihan, dan banyak lagi pekerjaan informal lainnya. Berbagai kemudahan di kota membuat arus urbanisasi terus meningkat,” katanya. Sedangkan, Denny Zulkaedi dari Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota ITB menyatakan munculnya kawasan kumuh terkait erat dengan kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap kondisi lingkungan. Pemerintah kurang melakukan pengawasan terhadap lahan-lahan kosong dan tidak bertuan. Selama ada ruang yang terbuka, masyarakat yang merasa tidak memiliki kemampuan untuk menyewa atau membeli rumah akan menggunakan lahan tersebut sebagai tempat tinggalnya. Pandangan serupa disampaikan peneliti dari Pusat Studi Asia Pasifik UGM Dibyo Prabowo. Menurutnya. kawasan kumuh tercipta karena rencana tata ruang yang dibuat pemerintah tidak pernah diikuti secara konsisten. “Kalau tidak ada peraturan tata ruang yang tegas, termasuk membuat zonasi yang ketat, maka persoalan kawasan kumuh tidak akan pernah selesai,” tegasnya. Senada dengannya, pakar perumahan dan transportasi ITB sekaligus anggota perumus Visi Indonesia 2033, Jehansyah Siregar, menyatakan selama ini pemerintah terkesan melakukan pola pembiaran dan lebih berorientasi pada proyek dalam melakukan penataan tata ruang kota. Hingga saat ini, banyak wilayah yang menjadi titik kawasan kumuh yang belum dikenali dan dituntaskan keberadaannya. Akibatnya, semakin lama kawasan tersebut semakin menjamur, sehingga semakin sulit dideteksi dan diatasi. “Dalam melakukan penataan tata ruang kota, pemerintah hanya memperhatikan lokasi dan wilayah yang menjadi incaran investor. Selama investor belum berminat, dibiarkan saja. Akibatnya, lokasi tersebut menjadi konsentrasi kawasan permukiman kumuh,” katanya. Secara terpisah, Koordinator Program Pascasarjana Studi dan Perencanaan Kota di Savannah State University, Amerika, Deden Rukmana, Kamis (14/10) menyatakan untuk mengerem penambahan kawasan kumuh di perkotaan harus dibangun dan dikembangkan sektor pertanian di desa. Model pembangunan sejenis Kampung Improvement Project (KIP) yang berbasis masyarakat adalah model tepat untuk meningkatkan kualitas lingkungan kawasan kumuh. “Saya tidak setuju dengan relokasi kawasan kumuh, karena itu hanya memindahkan kekumuhan,” katanya. Di Amerika Serikat, menurut Deden, pada 1950 dan 1960-an pemerintah menggunakan pendekatan peremajaan kota. Saat itu, permukiman-permukiman warga miskin di pusat kota digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih baik. Peremajaan ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik, tetapi sarat dengan masalah sosial. “Kemiskinan hanya berpindah saja dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit,” ujarnya. Menyadari kesalahan yang dilakukan masa lalu, pada awal 1990-an kota-kota di Amerika lebih banyak melibatkan masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaan dan tidak lagi menggusur mereka untuk menghilangkan kemiskinan di perkotaan
Kemiskinan Sementara itu, Juru Bicara Pemkab Bogor, David Nugroho menyatakan dari luas wilayah 298.838 ha, sekitar 33% digolongkan sebagai kawasan kumuh. Hal itu terjadi karena sedikitnya 1,4 juta dari 4,7 juta warga Kabupaten Bogor hidup dalam kemiskinan. Mereka tersebar di 360 desa yang berada dalam 17 kelurahan di 40 kecamatan. Ketika ditanya soal kawasan kumuh, dia menyatakan setidaknya ada dua faktor penyebabnya. Pertama, warga yang tergusur karena pembangunan perumahan mewah. Uang hasil gusuran habis digunakan untuk keperluan sehari-hari dan mereka hanya membeli lahan kurang dari 80 meter persegi untuk dibangun tempat tinggal. Jumlah anggota keluarga yang tinggal biasanya lebih dari lima orang, sehingga menciptakan kekumuhan. Kedua, kawasan kumuh biasanya dihuni warga pendatang yang memiliki penghasilan pas-pasan, bahkan kurang. Mereka membangun rumah seadanya di atas lahan-lahan kosong. “Upaya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bogor pada 2010, antara lain membangun 2.000 rumah layak huni yang tersebar di 40 kecamatan. Dengan dibangunnya rumah layak huni warga miskin dapat hidup sehat dan dapat berusaha dengan tenang dan baik. Prioritas penanganan kemiskinan di Kabupaten Bogor juga dilakukan lewat jalur pendidikan dan kesehatan,” ujarnya. Sedangkan, Asep Firdaus, Kabag Humas Pemkot Bogor, menyatakan area kawasan kumuh di Kota Bogor mencapai 23,8 persen dari luas wilayah kota sekitar 11.173 ha. Jumlah penduduk Kota Bogor saat ini mencapai 949.066 jiwa dengan rata-rata tingkat kepadatan penduduk 8.494 orang per kilometer persegi. “Pemerintah Kota Bogor menargetkan sampai 2014 kawasan kumuh dapat dibenahi. Upaya itu antara lain dengan memberikan keterampilan kepada warga miskin yang dibina di 68 kelurahan di enam kecamatan,” katanya.
| |
|