Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Kekeliruan Komunikasi Yudhoyono Tue Feb 09, 2010 8:48 pm | |
| Kekeliruan Komunikasi Yudhoyono EEP SAEFULLOH FATAH Selasa, 9 Februari 2010 - KompasBerita menggembirakan menghampiri hari-hari politik kita yang kering pekan lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima anugerah sebagai komunikator politik paling unggul se-Asia Pasifik dari The Public Affairs Asia yang diserahkan di Hongkong. Hadiah diberikan lantaran kepiawaian komunikasi politik Yudhoyono sehingga antara lain sukses mendulang dukungan pemilih dalam Pemilu 2009.
Saya bersyukur, Yudhoyono beroleh apresiasi dari internasional. Namun, saya melengkapi syukur itu dengan kesadaran sukses dukungan politik tak statis, tetapi dinamis.
Selepas pemilu, pemerintahan Yudhoyono- Boediono mengalami degradasi dukungan. Selain terefleksikan dari hasil survei, gejala degradasi ini saya temukan di berbagai forum yang saya ikuti di sejumlah daerah. Banyak orang mengaku salah pilih. Walhasil, selepas penganugerahan itu berbagai kalangan dalam negeri beramai-ramai mempertanyakan validitas penilaian The Public Affairs Asia.
Rasa syukur juga mengharu biru saya membaca pengakuan Presiden, derajat kesuksesan program 100 hari mencapai lebih dari 99 persen. Sayangnya, rasa syukur ini berbenturan dengan fakta besarnya gelombang arus kritik menggugat kegagalan program 100 hari pemerintahan Yudhoyono-Boediono di berbagai penjuru Tanah Air.
Bertemulah kita dengan paradoks: dipandang sukses oleh institusi asing dan memandang diri menggapai sukses, tetapi mendulang penilaian gagal dari publik Tanah Air. Paradoks ini menggarisbawahi persoalan akut dalam kepemimpinan Yudhoyono, yakni kekeliruan dan kegagalan komunikasi politik.
Kekeliruan komunikasi
Menurut saya, setidaknya lima kekeliruan komunikasi Yudhoyono. Pertama, keliru pemosisian. Belakangan, Yudhoyono terlampau kerap memosisikan diri sebagai korban keadaan, menjadi obyek penzaliman pihak lain, korban fitnah. Celakanya pemosisian ini dilakukan Presiden manakala sebagian publik mengharapkan tampilnya Presiden sebagai yang bertanggung jawab atas kekeliruan kebijakan yang dibuat pemerintahannya.
Kekeliruan pemosisian itu pun menjadi ibu kandung dari dua kesan buruk tentang lembaga kepresidenan belakangan. Presiden dipandang senang menyelamatkan diri, lari dari tanggung jawab, dan tidak punya kemauan untuk melindungi pihak yang berada di bawah kendali kekuasaan dan kewenangannya. Di sisi lain, Yudhoyono tampil atau menampilkan diri sebagai ”presiden yang merana”, ”lemah”, dan ”menderita”. Dua kesan ini potensial terbangun persepsi publik, Presiden memiliki kepemimpinan yang lemah.
Kedua, keliru substansi. Substansi atau pesan dalam komunikasi politik Yudhoyono juga bermasalah. Manakala publik menunggu ketegasan sikapnya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, ia bertanggung jawab sepenuhnya atas segenap keputusan eksekutif yang diambil di bawah pemerintahannya, Yudhoyono justru senang berkelit.
Jurus berkelit tampak saat ia selepas menerima rekomendasi Tim Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto beberapa bulan lampau, dan Yudhoyono berbicara soal kasus dana talangan untuk Bank Century. Alih-alih menyatakan bertanggung jawab atas keputusan pemerintah, ia menyatakan akan minta penjelasan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Ini memberikan kesempatan partai menjadikan Boediono dan Sri Mulyani sebagai sasaran tembak. Berlarut-larutlah kasus Bank Century hingga kini.
Ketiga, keliru waktu. Yudhoyono juga tampil sebagai pemimpin yang terlampau reaktif, bahkan impulsif. Ia terlihat tak senang mengelola waktu secara saksama, tergesa memberikan respons atas berbagai isu yang menurutnya sensitif. Ia pun menjadi rajin mengomentari berbagai peristiwa yang berpusar di seputar lembaga kepresidenan.
Yudhoyono sibuk berkelahi dengan kritik yang bertubi-tubi sehingga alpa dengan berlaku demikian ia tampak sebagai petarung yang senang menghambur-hamburkan amunisi. Walhasil, ia gagal membentuk dan mengelola momentum politik. Ia terkerangkeng dalam momentum politik yang melintas di sekitar kekuasaan kepresidenannya.
Keempat, keliru dampak. Konsekuensi pokok dari tiga kekeliruan itu adalah terbangunnya akibat yang salah dan tidak menyenangkan dari fungsi komunikasi politik presiden. Alih-alih komunikasi politik itu mengakumulasikan dukungan dan simpati publik, yang terjadi adalah proses disakumulasi secara perlahan namun pasti. Alih-alih sukses memobilisasi khalayak ke target politik yang dibidiknya, Yudhoyono seperti melempari dirinya dengan banyak bumerang.
Kelima, keliru gaya. Keempat kekeliruan di atas dibungkus dalam gaya komunikasi yang juga keliru. Dengan modal politik yang begitu besar (perolehan suara 20,85 persen Partai Demokrat dan raihan 60,8 persen Pemilu Presiden 2009), Yudhoyono bergaya seolah-olah begitu rentan terhadap gangguan dan penzaliman. Presiden belakangan bergaya sangat tak presidensial. Ia gemar meminta perlindungan dan simpati publik ketika publik justru merasakan nasib mereka selalu dipermainkan oleh pejabat publik yang tak layak dan tak bertanggung jawab.
Ketika saya utarakan niat menulis tentang kekeliruan-kekeliruan politik Yudhoyono, seorang kawan baik berkomentar dengan ringan: ”Komunikasi Yudhoyono? Ia memangnya berkomunikasi dengan siapa?”
Komentar ringan tetapi telak. Jangan-jangan di situlah sumber pokok masalahnya: Yudhoyono terlampau peduli pada dirinya sendiri. Saran sederhana saya: Presiden berhentilah terlampau asyik berkomunikasi dengan diri sendiri. Mulailah menghadapi kenyataan politik secara tegar dan kuat selayaknya seorang pemimpin. EEP SAEFULLOH FATAH CEO PolMark Indonesia, Political Marketing Consulting | |
|