Peran ibu sangat besar bagi keberhasilan seorang anak. Dorongan dan didikan seorang ibu mampu menciptakan para pemimpin besar. Karena besarnya peran ibu inilah, maka muncul ungkapan, "Surga di telapak kaki ibu". Ibu yang melahirkan bayi, kemudian tangannya yang terampil dan kemampuannya yang sangat luar biasa mampu menjadikan seorang anak menjadi pemimpin bangsa.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno yang lahir tanggal 6 Juni 1901 mendapat sebutan "Putra sang Fajar". Sebutan itu diberikan ibunya ketika suatu pagi Soekarno berada di dekapan ibunya. "Engkau sedang memandang fajar, nak. Kelak, engkau akan menjadi orang yang mulia. Menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi pada saat fajar mulai menyingsing. Sebagai orang Jawa, kita mempunyai kerpecayaan bahwa orang yang dilahirkan pada saat matahari terbit, nasibnya sudah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-sekali kau lupakan nak, bahwa engkau "Putra dari sang Fajar."
Apa yang diucapkan ibunya itu selalu terngiang-ngiang di telinga Soekarno dan mendorongnya untuk mewujudkannya. Sejak usia belasan tahun Soekarno sudah mulai memasuki gelanggang politik. Saat dia dianggap masih terlalu kecil masuk ke bidang politik, Soekarno tidak mundur bahkan makin giat mengembangkan diri untuk mencapai apa yang pernah ibunya sebutkan, "menjadi orang yang mulia". Dan sukses Soekarno tidak terlepas dari pendidikan informal dalam bidang politik dan pendidikan formal di sekolah teknik menjadikan dia mampu mencapai cita-citanya, menjadi orang yang mulia.
Berkembang Sesuai Minat
Saat ini sering kita lihat di media massa wajah Sandi Uno (38) sebagai pengusaha muda yang berhasil. Sukses Sandi Uno tidak terlepas dari peran ibunya, Mien R Uno (67). "Pendidikan di tingkat keluarga menjadi kunci kesuksesan suatu generasi. Orangtua yang mendukung dan memberi kesempatan anak-anaknya tumbuh dan berkembang sesuai dengan minatnya akan memunculkan generasi yang menguasai bidangnya masing-masing," ujar Mien Uno.
Atas dasar itulah, Mien dan suaminya, mengasuh dan mendidik kedua putranya, Indra Uno (40) dan Sandi Uno (38). Keduanya menekuni bidang yang diminati sejak kanak-kanak. Indra menyukai konstruksi pesawat, sementara Sandi bidang bisnis.
Dalam mendidik anak, pasangan Mien dan Uno berbagi tugas. Mien lebih pada pendidikan akhlak, sedangkan Uno pendidikan formal (sekolah).
Mien yang kini masih sibuk menjadi pembicara dan pengajar seputar kepribadian ini mengatakan, sejak kecil kedua putranya dididik menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain, jujur dan disiplin. Dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, anak-anak dilarang membuka barang yang bukan miliknya.
"Mendidik anak harus disiplin dan tegas, kalau salah diberi sanksi, tetapi juga diberi maaf. Tidak ada kamus anak meronta-ronta bila menginginkan sesuatu dari orangtua, karena saya memberi pengertian," ujar pengajar di Sekolah Duta Bangsa ini.
Keluarga, lanjut nenek empat cucu ini, adalah suatu tim. Berarti, suatu keputusan diambil dengan mendengarkan suara anak-anak. Dan itu bukan hanya pada saat Men hendak memutuskan sesuatu terkait dirinya, misalnya penampilannya saat akan menjadi pembicara, tetapi juga saat membuat keputusan terkait masa depan anak-anaknya.
Selama 45 tahun menjalani kehidupan berumah tangga, kejujuran dan kepercayaan merupakan landasan Mien dan Uno, dan tidak pernah mengucapkan kata cerai. Inilah kunci awetnya pernikahan mereka.
Bagi Mien, sukses lainnya dalam kehidupan ini adalah bersyukur pada Tuhan atas apa yang sudah diberikan-Nya. Tidak melihat orang lain lebih hebat, karena setiap orang memiliki potensi, kelebihan, dan kekurangan.
Demikian juga dengan perempuan yang menjadi ibu rumah tangga, tugas tersebut adalah tugas mulia, mendidik dan membesarkan anak menjadi generasi bangsa. "Ibu rumah tangga jangan tidak percaya diri. Hargai diri sendiri sebelum orang lain menghargai Anda," tambah Mien.
Jangan Memaksa
Seorang wanita karier berprestasi, Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita Legowo (57) mengatakan, seorang ibu berperan mengarahkan, mendidik dan membimbing anaknya menempuh kehidupan. Akan tetapi, Dirjen Migas wanita pertama dalam sejarah Indonesia itu memberi kebebasan kepada kedua putri dan seorang putranya, Vidi Athena Dewi, Dita Saraswati dan Brian Satya Gautama, menentukan pilihan hidupnya.
"Pengalaman mendidik putri pertama saya, memberi pelajaran agar tidak terlalu memaksa anak," ujar wanita kelahiran 3 November 1951 itu.
Evita menceritakan, ia bersama suaminya, Edi Legowo, terlalu memaksakan kehendak dalam menentukan bidang studi perguruan tinggi yang akan diambil kepada putri pertamanya itu. Vidi sebenarnya berkeinginan melanjutkan studi ke jurusan komunikasi, Evita dan suaminya meminta Vidi mengambil bidang studi teknik sipil.
"Pada semester pertama, dia mengungkapkan akan menyelesaikan studinya di Parahyangan. Rupanya itu hanya untuk menyenangkan hati kami. Setelah lulus dia langsung menyerahkan ijazahnya kepada saya, dan melanjutkan studi master di bidang televisi jurnalis di Jerman," kata Evita.
Penyesalan dan rasa bersalah akhirnya muncul. Sejak itu dia dan suaminya memberi kebebasan kepada anak-anaknya menentukan pilihan hidup termasuk menentukan pilihan pasangan hidup, yaitu pria berkebangsaan Jerman.
"Keluarga kami sangat terbuka dan demokratis. Kami memberikan kebebasan berpendapat kepada anak-anak kami sehingga sampai sekarang kami dekat satu sama lain," ujarnya.
Kesibukan sebagai Dirjen menyebabkan dia jarang berada di rumah. Namun, dia selalu berusaha menjaga komunikasi dengan anak-anak dan suami. Setiap hari, Evita menyiapkan segala keperluan keluarga. Membuat sarapan bagi suami, dan memberi penugasan kepada pembantu terkait kebutuhan rumah tangga, seperti menentukan menu makanan bagi keluarga.
Beruntung, Evita memiliki suami dan anak yang mengerti kesibukannya. Suaminya selalu setia menunggunya pulang untuk makan malam bersama. "Saya selalu berusaha pulang sebelum makan malam pukul 20.00. Karena kesibukan rapat, saya terpaksa pulang ke rumah minimal pukul 20.30," ujarnya.
Setelah makan malam, Evita, suami, dan putranya menghabiskan malam berbincang-bincang bersama hingga pukul 11.00. Menentukan keputusan dalam rumah tangga, Evita tetap mendiskusikan dengan suami sebagai kepala rumah tangga. Mengaktualisasikan diri seirama dengan suami dalam mengarahkan anak-anak.
"Suami dan anak-anak sangat pengertian dan mendukung profesi saya. Suami menjadi korektor bagi saya termasuk anak saya," katanya. [DLS/N-4]