Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Hijrah Menuju Peradaban Manusia Mon Dec 29, 2008 1:31 pm | |
| Hijrah Menuju Peradaban ManusiaQuraish Shihab 29/12/2008 - 12:59 Jakarta – Umat Islam di seluruh dunia memasuki tahun baru 1430 Hijriyah. Pergantian tahun, hendaknya dimaknai dengan makin meningkatnya peradaban manusia, sebagaimana terkandung dalam makna hijrah itu sendiri.
Waktu berlari dengan kencang. Tanpa sadar, hari ini Senin (29/12) merupakan penghujung tahun 1429 dan awal tahun baru 1430 Hijiriyah. Muharram merupakan momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Pasalnya, bulan ini merupakan peletakan batu pertama bagi tumbuhnya peradaban umat manusia.
Prof Zainun Kamal, Guru Besar Teologi Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, mengatakan perpindahan Nabi Muhammad dari kota Mekah ke Yastrib merupakan hijrah dari yang tidak beradab kepada sesuatu yang beradab.
Yastrib sendiri, kata Zainun, mengandung arti sebuah tempat yang jauh yang tidak dikenal. Kemudian tempat yang tidak dikenal itu diubah namanya menjadi Madinah. “Madinah itu sendiri artinya adalah peradaban,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Senin (29/12).
Kecenderungan makna hijrah yang lebih kuat, lanjut Zainun, justru makna intelektualnya. Jadi, hijrah adalah perpindahan dari seuatu yang tidak beradab kepada yang beradab, berdasarkan moral. ”Karena perjuangan dari seorang Nabi, merupakan perjuangan moral,” ujarnya.
Tanpa moral, kata Zainun, pembangunan manusia bisa mengarah kepada kehancuran. “Terutama kehancuran bagi kemanusiaan itu sendiri,” tukasnya.
Karena itu, Zainun mengajak agar hijrah dimaknai sebagai perubahan dari kebodohan kepada pengetahuan, dari biadab kepada beradab, dan dari sikap malas menjadi semangat. “Saya kira, ketertinggalan umat Islam ini karena tidak aktif untuk melakukan yang terbaik yang diimpelementasikan dalam amal saleh,” ujarnya.
Prof Quraish Shihab, pakar tafsir Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menekankan pentingnya makna mental yang dapat diteladani dari hijrah. Menurutnya, makna mental dari hijrah adalah sikap anti menyerah.
Quraish mengutip Al Quran surah Ar-Ra’ad ayat 11 yang menegaskan, ‘Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa dia sendiri mengubah nasibnya’. Ayat ini secara implisit memberi otoritas kepada segenap manusia untuk berusaha sekuat tenaga dan pikiran, mengerahkan segala potensinya demi kehidupan yang lebih baik.
Ayat di atas, lanjut Qurasih, berbicara mengenai dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah. Kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya adalah manusia.
Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih kasih atau membedakan.
Sedangkan perubahan manusia terdiri dari dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati dan kehendak manusia. ”Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan pendorong guna melakukan sesuatu,” kata Quraish.
Peristiwa hijrah telah memberikan pelajaran akan pentingnya membangun kesadaran kolektif dan bersama-sama berjuang membangun peradaban. Hal ini seperti yang telah dicontohkan ketika kaum Anshor menerima kaum Muhajirin. Tanpa ragu-ragu dua golongan yang tadinya saling tidak mengenal ini mampu bersama-sama bergandengan untuk memulai suatu pekerjaan besar yaitu mewujudkan suatu tatanan masyarakat madani.
Hijrah juga mengajarkan bagaimana jerih-payah Nabi Muhammad menuju sebuah masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. ”Kerja keras serta etos pantang menyerah telah menjadi dua pilar yang tertanam di hati kaum muslimin saat itu,” papar Quraish.
Secara moral, hijrah dapat berarti meninggalkan keinginan-keinginan yang rendah, perilaku buruk, dan kekeliruan-kekeliruan menuju kepada kehidupan yang lebih beradab, berakhlak dan bermoral mulia.
Dalam konteks ini, seseorang yang menindas kaum dhuafa, menfitnah, mencuri, berbohong, korupsi, dan berbuat zalim, bisa dikategorikan ke dalam kelompok orang yang tidak beradab dan tidak bermoral mulia.
Sementara hijrah dalam arti spiritual, memiliki dimensi yang lebih transenden seperti meninggalkan pengingkaran kepada Tuhan menuju kepada sikap patuh pada ajaranNya. [I4] inila.com | |
|