Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Anggaran Pendidikan untuk Program Terukur Sat Mar 13, 2010 4:27 pm | |
| Anggaran Pendidikan untuk Program Terukur
Prioritaskan Sarana Fisik, Gaji, dan Beasiswa Suara Pembaruan, 13 Maret 2010
[JAKARTA] Peningkatan anggaran pendidikan nasional harus diikuti dengan penajaman program, antara lain untuk perbaikan gedung sekolah, peningkatan kesejahteraan guru, dan penyediaan beasiswa untuk mencetak doktor-doktor di luar negeri. Program-program itu secara kasat mata bisa diukur pencapaiannya, sehingga masyarakat bisa ikut memantau penggunaan anggaran pendidikan yang kini mencapai Rp 221,4 triliun. Berbagai penajaman program pendidikan diha- rapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun SP, Jumat (12/3) dan Sabtu (13/3), dari pakar pendidikan Ari Widodo Poespodihardjo, Rektor Atma Jaya Yogyakarta, Slamet Sarwono, Ketua DPD Irman Gusman, anggota DPD Sulistiyo, dan Wakil Gubernur NTT Esthon L Foenay. Ari menuturkan anggaran pendidikan harus mengarah pada peningkatan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kualitas bisa ditingkatkan bersamaan dengan peningkatan kualitas pendidik dan fasilitas pendidikan. Sejalan dengan itu, pemerintah harus memetakan kebutuhan anggaran pendidikan di daerah-daerah agar tepat sasaran. “Ada daerah yang kekurangan tenaga pendidikan, ada sekolah yang membutuhkan anggaran untuk peningkatan fasilitas sekolah. Itu yang harus diidentifikasi peme- rintah dan diberi solusinya,” katanya. Senada dengannya, Slamet Sarwono menuturkan salah satu prioritas penggunaan anggaran pendidikan adalah pemberian beasiswa bagi para mahasiswa ke luar negeri. Langkah itu terus digalakkan Pemerintah Malaysia yang mengirim ribuan pelajar menempuh pendidikan doktor ke Amerika. Setelah mendapat gelar, mereka kembali untuk membangun negaranya. “Ketika saya kuliah di Kentucky, Amerika Serikat, pada 1990-an jumlah pelajar Indonesia dan Malaysia yang belajar ke sana berbeda jauh sekali. Pelajar Malaysia yang menempuh pendidikan master dan doktor di sana mencapai 2.000 orang, sementara dari Indonesia jumlahnya di bawah 100 orang,” katanya. Para pelajar Malaysia itu, lanjut Slamet, dibiayai oleh negara. Setelah mendapat gelar master dan doktor, mereka diminta pulang ke Malaysia dan mendapat jaminan pekerjaan dan kesejateraan untuk jangka panjang. “Kebijakan itu membuat kualitas sumber daya manusia Malaysia menjadi sangat bagus. Berbeda dengan Indonesia, banyak pelajar Indonesia yang setelah menempuh pendidikan tinggi di luar negeri tidak dihargai, sehingga mereka meninggalkan kampus,” katanya. DPD Mendukung Ketua DPD Irman Gusman mengusulkan untuk mengantisipasi penyalahgunaan anggaran pendidikan yang berlimpah ruah, sebaiknya pemerintah mengalokasikan dana bagi guru-guru swasta, guru bantu, dan guru honorer. Langkah ini jauh lebih tepat ketimbang mengadakan-ngadakan proyek berbungkus isu pendidikan yang sekadar untuk menghabiskan anggaran. “Kita akan mendukung sepenuhnya langkah tersebut karena pengalokasian anggaran seperti itu lebih mudah untuk dikontrol dan efek nyatanya jelas bagi kemajuan pendidikan di Tanah Air. Kenaikan kesejahteraan guru, baik negeri maupun swasta, pasti akan berdampak pada kualitas belajar-mengajar. Kita pun tak boleh terlalu membeda-bedakan guru negeri dan swasta karena semuanya berkontribusi untuk pendidikan di Indonesia,” ujar Irman dalam perbincangan dengan SP di sela-sela pertemuan DPD dengan sejumlah duta besart. Irman menyarankan pula agar ada alokasi anggaran yang memadai untuk mengirimkan putra-putra terbaik belajar ke luar negeri mengambil program master dan doktor, terutama untuk bidang-bidang keahlian yang masih dibutuhkan di dalam negeri. “Banyak negara bisa mengejar ketertinggalan mereka di segala bidang dengan mengadopsi pola seperti itu. Kita tak perlu gengsi atau merasa rugi mengirim orang belajar ke luar negeri karena manfaat jangka panjangnya sudah pasti sangat besar,” tandasnya.
Faktor Kepala Daerah Sedangkan, anggota DPD Sulistiyo menyoroti program pendidikan di daerah-daerah yang tak tepat sasaran. Banyak kepala daerah yang tidak tepat menggunakan dana pendidikan, bahan cenderung ngawur. Kesalahan lainnya adalah anggaran pendidikan digunakan untuk pendidikan kedinasan pegawai negeri. Selain itu, ada juga yang menyelewengkannya untuk kepentingan politik. “Ada kepala daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan untuk pengembangan perguruan tinggi di daerahnya. Dananya tak tanggung-tanggung, hampir separuh anggaran pendidikan. Padahal, di daerah itu banyak gedung sekolah yang rusak,” kata mantan Ketua Umum PB PGRI. Lebih jauh dikatakan, selama ini pemerintah belum mampu menjawab tujuan pembangunan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu meliputi kecerdasan inteligensia, emosional, serta spiritual, yang dikenal sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelligence/ MI). “Gejala umumnya, lulusan satuan pendidikan tidak memiliki kesesuaian kualifikasi dan kesiapan mental spiritual, misalnya nalar dan etos, keterampilan, entrepreneurship, dan leadership,” kata anggota DPD daerah pemilihan Jawa Tengah ini. Sementara itu, Wakil Gubernur NTT Esthon L Foenay menyatakan dari total APBD senilai Rp 12 triliun, anggaran pendidikan mencapai Rp 1,2 triliun. Dana sebesar itu, antara lain untuk memperbaiki infrastruktur dan kelengkapan sekolah. “Masih banyak sekolah yang rusak, sebab hampir setiap tahun NTT dilanda bencana. Perbaikannya melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Secara umum, NTT tengah memprioritaskan pembangunan pendidikan,” katanya. Program perbaikan gedung sekolah juga dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung. Dari 7.863 sekolah yang ada, sekitar 30 persen mengalami rusak sedang dan berat. Pada 2010 ditargetkan rehabilitasi 96 sekolah yang rusak berat dengan anggaran Rp 350 juta per sekolah. Pencitraan Secara terpisah, pengamat pendidikan HAR Tilaar menyatakan penggunaan anggaran pendidikan selama ini tidak fokus dan tidak tepat sasaran. Anggaran lebih banyak digunakan untuk pencitraan departemen, antara lain pembangunan gedung mewah dan fasilitas lain, ketimbang pendidikan gratis kepada masyarakat dan memperbaiki kesejahteraan guru. “Terutama citra Kementerian Pendidikan Nasionak, kantornya seperti hotel bintang lima. Mata awam pun bisa melihat ke mana anggaran pendidikan selama ini,” katanya. Pemasangan iklan disertai foto menteri di media massa, juga dinilai sebagai bentuk pencitraan kementerian dan pribadi pejabat. Dengan pendekatan itu, kendati anggaran pendidikan terus merangkak naik, biaya pendidikan tetap saja mahal. Menurut dia, falsafah pendidikan nasional sudah salah arah. Pendidikan, lanjutnya, tidak sekadar baca-tulis, sekolah, kelas dan gedung, tetapi berkaitan dengan derajat hidup rakyat, seperti amanat UUD 1945. “Pendidikan nasional harus turun mesin, karena seluruhnya tidak jelas. Ditentukan arahnya mau ke mana, apa mau jadi ‘mobil balap’ yang mahal dan kencang larinya, atau ‘bus’ tetapi bisa menarik masyarakat Indonesia yang miskin,” katanya. Wakil Rektor I Universitas Trisakti Jakarta, Yuswar Zainul Basri menilai kebijakan sekolah gratis juga slogan. Menurutnya, biaya pendidikan tetap mahal, karena sekolah negeri dan perguruan tinggi negeri masih memungut biaya pendidikan. “Pemerintah kita salah kaprah. Di negara lain, benar-benar gratis, tidak ada keluhan pungutan ini-itu,” katanya. | |
|